Cerpen Siswa MAN Sumpur Kab. Tanah Datar
CACAT
BUKAN HALANGAN UNTUK MAJU
By: Muhzilaturrahimah
![]() |
| Penulis |
Mobil pengangkut
barang bermerk L200 berwarna hitam tanpa atap itu berhenti disebuah rumah
kontrakan yang tampak tak dirawat karena sudah dua bulan tak dihuni. Rumah
kontrakan berwarna hijau itu muda dengan dua kamar itu disewa oleh seorang
pemuda yang berumur sekitar dua puluh tahun.
Barang-barang
yang dibawa oleh mobil tersebut diberhentikan diteras rumah itu, selang
beberapa lama tampak seorang pemuda berpakaian rapi menendarai motor harley
rumah tersebut. Terjadi perbincangan antara pemilik rumah dan pemuda
tersebut, sekitar tiga puluh menit kemudian, perbincangan itu pun selesai.
Pemilik rumah itu memberikan kunci kepada pemuda dan berlalu dengan seulas
senyuman dibibirnya.
Detik
berlalu, menit berjalan, jam pun
berganti, genap dua jam pemuda nan tampak berwibawa itu selesai beres-beres.
Sekarang waktunya mandi dan shalat ashar.
Pemuda
itu bernama Furqan, dia biasa dipanggil ustadz karena dia adalah seorang ikhwan
yang taat beragama. Dia berasal dari kampung Manggis tapi sekarang dia pindah
dikarenakan dia mengajar disalah satu pondok pesantren Al-ilmi yang dekat dari
kontrakannya.
Malam
pun tiba, selesai shalat isya dan membaca ayat-ayat alquran, Ustadz furqan pun
merebahkan badannya ditempat tidur. ‘’waktunya istirahat, besok mau ngajar’’
ujar ustadz Furqan seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri. Doa dan ayat
kursi pun dilantunkan demi menjaga tidur malam ustadz Furqan.
Baru
saja ustadz Furqan terbuai dalam mimpinya, ia kembali terbangun. Ustadz Furqan
mendengar sayup-sayup lantunan ayat suci Alquan nan begitu merdu. ‘’subhanallah, merdu sekali, siapa
gerangan yang mengaji,? Seperti nya dari rumah seblah’’ gumam ustadz Furqan
takjub. Semakin lama lantunan nan merdu itu hilang bersama lelapnya tidur
ustadz Furqan.
Pagi
pun menjelang, terdengar kokok ayam bersahutan, para mu’adzin mengumandangkan
adzan pertanda waktu shalat telah tiba. Ustadz Furqan pun mambuka jendela dan
menghirup udara pagi nan segar ‘’Alhamdulilah,
terima kasih ya allah engkau masih memberikan nikmat umur kepadaku.’’ Gumamnya
dan melangkah ke kamar mandi untuk berwhudu’ dan menunaikan shalat subuh.
Selesai shalat dan baca al-quran, ustadz Furqan pun menyegerakan mandi dan
beres-beres untuk berangkat sekolah. Saat sedang bersiap-siap Ustadz Furqan
kembali takjub, ia kembali mendengar suara merdu bak bulu perindu. Tapi kali
ini melantunkan sebuah lagu berjudul ‘’ummi’’. ‘’subhanallah, indah sekali, siapa gadis bersuara merdu itu..???’’
ustadz Fuqan kembali bergumam.
Selesai
beres-beres ustadz Furqan pun berangkat menuju PONPES Al-ilmi, dengan motor harley nya ustadz Furqan pun berjalan
dengan santai menuju sekolahnya sambil menikmati udara pagi nan segar.
Sesampainya
di sekolah, ustadz fuqan disambut dengan sapaan lembut oleh santrinya ‘’assalamualaikum ustadz’’ sapa salah
seorang muridnya ‘’waalaikumusalam ya
ukhti’’ sahut ustadz Furqan dan
berlalu menuju ruang majelis guru, disana tampak guru-guru sedang sibuk dengan
pekerjaan masing-masing.
Ustadz
Furqan pun melangkahkan kakinya ke ruang pustaka untuk membaca kitab tarikh,
nahu dan lain sebagainya. Sesampinya dipustaka ustadz Furqan bertemu dengan
ustadz Suraj ‘’assalamualaikum’’ sapa
ustadz Suraj setelah melihat ustadz
Furqan, ‘’waalaikumussalam’’ jawab
ustadz Furqan dengan senyum yang menghiasi bibirnya. ‘’bagaimana tinggal
dirumah barunya ustadz?’’ tanya ustadz Suraj, ‘’alhamdulilah, nyaman dan enak ustadz.’’ Jawab ustadz Furqan dengan
kelembutan bahasanya, ‘’tentu boleh saya main-main kesana ustadz.??’’ Sambung
ustadz Suraj, ‘’oh.. dengan senang hati ustadz, kapan pun ustadz mau saya
selalu ada ustadz,’’ timpal ustadz Furqan, ‘’wahh,, ustadz ini bisa saja’’
balas ustadz Suraj.
Dialog
pagi ituberakhir karena bel telah berbunyi, ustad Furqan melangkah menuju lokal
untuk melimpahkan ilmu nya kepada para santri nya. ‘’assalamualaikum wr.wb’’ ucap ustadz Furqan sebeluma masuk ke lokal.
‘’waalaikimussalam’’ santri tampak
semangat menjawab salam ustadz Furqan. Setelah membaca doa dan melantunkan ayat
Alquran ustadz furqan pun melanjutkan pelajarannya.
‘’ilmu
tafsir adalah ilmu yang menyingkap bla..bla..bla..’’ terdengar suara ustadz
Furqan menjelaskan pelajarannya, penjelasan ustadz Furqan dibawa oleh angin
menuju ke sel-sel otak para santri.
Proses
belajar mengajar hari itu berakhir, ustadz Furqan mengendarai harley nya menuju
istana kecilnya. Ustadz Furqan mengganti seragamnya dan berwhudu’ untuk shalat
ashar, selesai berwhudu ia mengenakan baju koko nya dan melangkah ke mesjid, di
kepalanya terlihat sebuah peci berwarna hitam. Sesampainya dimasjid ustadz
Furqan mengumandangkan adzan, para
jema’ah terkagum-kagum akan syahdunya suara ustadz furqan saat mengumandangkan
azan dan itulah pertama kalinya ustadz furqan menjadi muazin dan imam dimasjid
tersebut.
Selesai
shalat dan berzikir ustadz furqan pun kembali kerumahnya dan mengganti baju
kokonya dan duduk santai di depan rumahnya, saat sedang bersantai ustadz furqan
kembali tertegun terdengar sayup-sayup lantunan ayat suci al-quran dengan
merdunya, suara itu berasal dari mulut seorang gadis yang tinggal di samping
rumah ustadz furqan. ustadz Furqan memandangi gadis berkerudung itu, bajunya
sopan dan kerudung putih itu menutupi dadanya, semakin lama ustadz Furqan
memandanginya gadis itu pun mengetahui dan menoleh pada ustadz Furqan dengan
seulas senyum di bibirnya “Subhanallah
gadis manis lagi cerdas” gumam ustadz Furqan.
Gadis
yang cerdas itu bernama Qairen, ia terlahir cacat tanpa kaki, duduk di atas
kursi roda. Walau ia cacat namun otaknya cerdas, tingkah lakunya terpuji dan
wajahnya begitu anggun, ia berasal dari keturunan orang kaya, tapi ia hanya
tinggal bersama 4 orang pembantu dan 6 ekor kucing yang sangat di sayanginya. Orang
tuanya sibuk dengan bisnis dan bisnis, hari-hari Qairen dilewati dengan
menghafal ayat-ayat al-quran dan bernyanyi, karena hanya itulah yang ia bisa.
Hari-hari
berlalu satu bulan sudah ustadz Furqan dihantui dengan perasaan takjub dan
penasaran, di suatu hari yang cerah ustadz Furqan memberanikan diri datang
bersilaturrahmi ke rumah Qairen. Setelah mengucap salam, ustadz Furqan
dipersilahkan untuk masuk. ustadz Furqan berbincang-bincang dengan pembantu
rumah dan Qairen, “Nak Furqan dari kampung mana?” tanya mpok Ijah, perempuan
setengah baya itu pada ustadz Furqan. “saya dari kampung manggis buk, saya
pindah ke sini karena saya mengajar di pondok pesantren al-ilmi”, jawab ustadz
Furqan. “ooooo... begitu. Oh ya, silahkan airnya diminum nak Furqan”, ujar Mpok
Ijah. “ya, buk” jawab ustadz Furqan dan meneguk air minumnya. “oh ya buk, adek
manis ini namanya siapa buk”? tanya ustadz Furqan dengan nada lembut. “nama
saya Qairen ustadz” jawab Qairen dengan nada lembut, “oohh.. Qairen,ustadz
dengar kamu pintar mengaji! Suara kamu indah dan merdu, ustadz kagum dengan
Qairen,”ucap ustadz Furqan “alhamdulillah,
terima kasih ustadz, jangan terlalu memuji ustadz”timpal Qairen “eh.. nak
Furqan, non Qairen, bibi tinggal dulu ya.mari” ujar mpok ijah disela-sela
obrolan ustadz Furqan dan Qairen, “iya buk. Mari” sahut ustadz Furqan, “Qairen,
kamu gadis yang pintar, dengan siapa kamu belajar mengaji??? “ustadz Furqan
melanjutkan pertanyaannya “saya belajar mengaji dengan mpok ijah ustadz, mpok
ijah lah yang mengajar,mendidik, dan merawat saya hingga saya tumbuh
dilingkungan islami, papa dan mama nggak pernah peduli sama saya ustadz, mereka
sibuk dengan bisnis dan bisnis, bagi mereka diriku tidak berarti. Mungkin
mereka benci sama saya yang terlahir tanpa kaki ini ustadz” ujar Qairen panjang
lebar, air mata menggenang dipelupuk mata indah Qairen, “sstt..... Qairen gak
boleh ngomong gitu ya,tidak ada orang tua yang tidak sayang sama anaknya,Qairen
husnudzan saja sama papa mama nya ya!!”ujar ustadz Furqan. Nasihat ustadz
Furqan terngiang-ngiang di benak Qairen.
Suasana
diruangan itupun hening sejenak, hanya suara angin yang terdengar berdesir,dan
menyentuh kerudung putih Qairen seolah-olah berkata usap air matamu Qairen.
Seketika
keheningan itu terpecah dengan kata-kata Qairen,”ustadz saya ingin menghafal 30
juz Al-Quran tapi,saya sekarang baru hafal 18 juz jadi,saya butuh orang untuk
menolong saya menjadi seorang hafidzah,ustadz”,”subhanallah,insyaallah ustadz akan menolongmu Qairen” sahut ustadz
Furqan,”alhamdulillah terima kasih
ustadz”balas Qairen matanya tampak berkaca-kaca.
Selesai
berbincang-bincang, ustadz Furqan pun kembali ke rumah dan melagkah ke mesjid untuk shalat ashar, ustadz Fuqan kembali
menjadi muadzin dan imam. “allahuakbar,allahuakbar..”
terdengar sayup-sayup nan merdu suara ustadz Furqan memanggil umat islam untuk
menunuikan kewajiban kepada ALLAH S.W.T. Selesai shalat berjamaah, ustadz
Furqan kembali ke rumah nya dan mengganti baju koko nya kemudian melanjutkan
membaca kitab-kitab kesayangannya.
Keesokan
harinya, Qairen sigadis jelita nan berparas cantik itu datang ke rumah ustadz
Furqan dengan mengenakan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali
wajahnya. Ditangannya tampak sebuah kitab suci Al-quran. “assalamualaikum”ucap mpok ijah bersamaan dengan Qairen, “waalaikumussalam” balas ustadz Furqan
kemudian segera membuka pintu rumahnya. “subhanallah,Qairen,ibuk
mari masuk dulu,” ucap ustadz Furqan lembut, mpok ijah mendorong kursi roda
Qairen ke dalam,ustadz Furqan pun menyediakan minuman untuk mereka.
“ustadz,saya
pengen menghafal Al-Quran sama ustadz, ustadz gak keberatan kan?” tanya Qairen
dengan senyum yang menghiasi bibir mungilnya, “tentu tidak Qairen, ustadz
selalu bersedia menolongmu”sahut ustadz Furqan. Detik demi detik, ayat demi
ayat masuk dibawa angin menuju memori otak Qairen hingga dalam waktu dua jam
Qairen mampu menghafal setengah juz Al-quran. “ustadz, saya pulang dulu ya
ustadz, terima kasih banyak ustadz,
assalamualaikum” ucap Qairen setelah
menutup Al-quran, “iya, sama-sama Qairen” sahut ustadz Furqan.
Setelah mengucap
salam mpok Ijah melangkah keluar sambil mendorong kursi roda Qairen. “subhanallah, gadis yang cerdas, andai
Qairen adalah adik saya, tentu akan lebih menyenangkan”gumam ustadz Furqan
mengagumi Qairen. Ya, Qairen begitu cerdas, tak salah banyak orang yang
mengaguminya.
Hari-hari
berlalu, dua bulan sudah Qairen belajar bersama ustadz Furqan, dengan
kecerdasan yang ia miliki, ia mampu menjadi Hafidzah 30 juz dalam jangka waktu
dua bulan. Ustadz Furqan sangat mengagumi dan menyayangi Qairen seperti
menyayangi adiknya sendiri. Qairen tak lagi memanggil ustadz Furqan dengan
sebutan ustadz melainkan sebutan kakak. Keakraban mereka mulai terlihat
semenjak mereka sudah mengenal lebih mendalam satu sama lain. Karena mereka
sudah seperti saudara, Qairen pun mengajak ustadz Furqan berjalan-jalan disuatu
siang, “subhanallah, kak,
pemandangannya indah sekali” ucap Qairen tertegu dengan kuasa Allah, “iya,
Qairen seneng nggak bisa jalan sama kakak?” tanya ustadz Furqan lembut, “senang
bangetlah kak, oh ya kak, Qairen senang banget punya kakak ikhwan kayak kak
Furqan”ujar Qairen “alhamdulilah,!” balas ustadz Furqan “kak, Qairen udah
akhwat belum? Hehe” tanya Qairen becanda, “hhmm.. gimana ya,?” ucap ustadz
Furqan, “ya udahlah, oh ya kak, kok kakak jelek sih kak.? Haha” ujar Qairen
dangan akhiran tawa yang membuat ustadz Furqan ikut tertawa, “kok kakak
dibilang jelek sih, kakak ngambek nih?” ucap ustadz furqan, “kok ngambek
dibilang-bilang sih kak ? hkhkhk” Qairen kembali tertawa, ustadz Furqan sungguh
bahagia bisa melihat senyuman Qairen.
Suatu hari,
ustadz Furqan membaca sebuah brosur yang berisikan tentang lomba menghafal
Al-quran minimal 15 juz tingkat nasional, ustadz Furqan pun teringat akan
Qairen, “Qairen, kakak akan mengikut sertakan kamu, kakak yakin kamu pasti
bisa!” gumam ustadz Furqan seolah-olah Qairen berada di dekatnya. Ustadz Furqan
membolak-balik brosur tersebut, setelah di baca-baca ustadz Furqan menjadi
bingung, “bagaimana caranya.? Lomba ini di adakan di Jogja, tentu sangat jauh
sedangkan Qairen keadaannya begitu.” Gumam ustadz Furqan kebingungan. Dalam
kebingungan tersebut ustadz Furqan mendapat sebuah semangat, “ya, saya tidak
boleh menyerah, saya akan tetap ikutkan Qairen dalam lomba ini, karena Qairen
berpotensi” Ustadz Furqan kembali bergumam.
Dirumah Qairen
ustadz Furqan membicarakan hal itu kepada Qairen, wajah Qairen tampak berbinar,
matanya berkaca-kaca. Senang,haru,bangga dan bahagia bercampur menjadi satu
seperti permen nano-nano. “Qairen, tetap semangat, nggak ada kata-kata menyerah
untuk seorang Qairen” ucap ustadz Furqan melalui pesan pendek atau short
message service . Qairen tersenyum setelah membaca SMS tersebut, dan segera me-reply pesan tersebut “insyaallah kak”.
Hari yang ditunggu-tunggu pun datang, saatnya
ustadz Furqan dan Qairen berangkat menuju Jogja, dengan menggunakan travel mereka menikmati indahnya
pemandangan. Qairen tak pernah merasakan hal itu, karena hari-harinya dia
lewati hanya dirumah dan dirumah. Senyum kebahagiaan terpancar dibibir Qairen.
Genap
15 jam, mereka sampi di Jogja. Mereka berjalan ditengah hiruk pikuk suara
manusia yang sibuk dengan aktifitas masing-masing. Qairen yang dikenal pendiam
dan menyukai ketenangan, sangat bosan dengan suasana yang hiruk pikuk seperti
itu. Tak lama kemudian, mereka sampai digedung Islamic Centre tempat dimana
akan diadakan lomba. Ustadz Furqan mendaftarkan Qairen sebagai peserta. Namun
sedih melanda hati Qairen saat mendengar orang itu berkata “dengan keadaan
seperti ini tak kan mungkin dia bisa ikut dalam lomba hafidzul Quran, mana bisa
dia berjalan ke mimbar untuk mengikuti lomba itu”.
Hati Qairen nan lembut baru kali ini mendengar
kata-kata seperti itu, baginya itu sungguh sesuatu yang menusuk hati.
“mbak,kalau hanya gara-gara adik saya tidak bisa jalan biar saya sendiri yang
mengatantarnya ke atas mimbar”balas ustadz Furqan dengan wajah sedikit kesal.”maaf
pak,kami tidak menerima peserta cacat sekali lagi maaf ini persyaratan menjadi
peserta yaitu baik fisik dan mentalnya”jawab panitia lomba. ”ya sudahlah kak,
memang Qairen terlahir cacat dan tak akan pernah bisa mangikuti lomba
sebergengsi ini, sekali cacat tetaplah cacat, walau waktu diputar kaki Qairen
tetap tidak akan pernah ada kak” ujar Qairen yang berusaha menahan air mata
kepedihannya, “tidak Qairen, kamu berpotensi dek, jangan putus asa begitu dek”
hibur ustadz Furqan, “mbak, saya mohon mbak, tidakkah mbak hargai perjuangan kami yang datang jauh-jauh?” ucap ustadz Furqan mempertahankan Qairen.
Selang beberapa lama terjadilah adu mulut antara panitia dan ustadz Furqan.
“Alya, ada apa ini? Kenapa ribut
sekali?” tanya seorang bapak yang datang tiba-tiba, bapak itu berwajah arif dan
bijaksana, dia adalah ketua pelaksana lomba itu. Panitia lomba yang bernama
Alya itu menjawab “ini pak, orang ini mau mengikuti lomba hafidzul Quran,
sedangkan keadaannya seperti ini pak”, bapak nan arif lagi bijaksana itu
menoleh pada Qairen dan berkata, “biar saya dengar dulu orang ini melantunkan ayat suci Al-quran”
ujar ketua pelaksana acara itu,
akhirnya Qairen pun mulai melantunkan
ayat suci Al-Quran, suara nan merdu itu terdengar begitu syahdu ditelinga ketua panitia itu. Bulu kuduknya merinding “oh my
god, bagus sekali!” ucap ketua panitia
itu mengagumi suara Qairen, “siapa namamu nak?” tanya bapak yang berpakaian rapi
itu, “Qairen pak,”jawab Qairen sopan, “oohh, kau tak usah bersedih nak, kau
akan ikut lomba ini, tak masalah jika keadaan kau seperti ini, kau anak yang
pintar“ ujar bapak itu.
Seketika,
terpancar senyuman di bibir Qairen. Bahagia sekaligus haru menghampiri sanubari qalbu Qairen.”terima kasih
banyak,pak saya tidak akan pernah melupakan kebaikan bapak.” Sahut Qairen
senang. Selang beberapa lama, acara pun dimulai, Qairen duduk dideretan
bangku-bangku peserta. “pemegang nomor lot 24” terdengar panggilan untuk
pemegang nomor lot 24, Qairen tersenyum dan Ustadz Furqan mendorong kursi roda
Qairen menuju mimbar. Ayat demi ayat yang menjadi soal bagi Qairen dibaca
dengan mata terpejam dan irama yang indah serta tajwid yang benar. Penonton
tertegun, ustadz Furqan pun terharu melihat seorang Qairen diatas mimbar
melantunkan ayat Al-quran dengan penuh khidmat.
Detik demi detik
berlalu, menit demi menit berjalan dan waktu telah berputar. Lomba pun selesai
dilaksanakan, saatnya pengumuman juara-juara lomba. Panitia menyebutkan dari
harapan satu, harapan dua, sampai juara satu. “juara satu diraih oleh saudari
Qairen rahmania angelita dengan nomor lot 24”. Qairen tak kuasa menahan haru,
sungguh tak pernah ia sangka dan ia duga kalau ia akan memperoleh juara satu
tingkat nasional. Ustadz Furqan mendorong kursi roda Qairen menuju ke depan
mimbar. Terlihat banyak penonton bertepuk tangan dan mengagumi intelegence seorang Qairen.
Acara pun
selesai, saatnya Qairen pulang dengan segenap kebahagiaan didirinya. Senyuman
tak pernah hilang dari bibirnya hingga ia tiba dirumahnya. Dalam perjalanan,
ustadz Furqan tak henti-hentinya memuji dan menyanjung Qairen, kebahagiaan
diraih karena sebuah perjuangan.
Dalam suasana
yang bahagia itu, malang pun tak dapat ditolak. Mobil yang mereka tumpangi
bertabrakan dengan sebuah truk pengangkut pasir, mobil yang ditumpangi Qairen
berlawanan arah dengan truk tersebut hingga akhirnya mobil Qairen mengalami
kerusakan parah. Qairen dan Ustadz Furqan tak sadarkan diri. Hingga tanpa
mereka sadari, mereka telah berada dalam sebuah ruangan, ustadz Furqan mulai
sadar, perlahan matanya terbuka, yang terlihat olenya adalah samar-samar wajah
seorang suster yang tengah mengganti balutan perban dikakinya. Seketika
teringat olehnya Qairen, “suster, adik saya mana? Bagaimana keadaannya
sekarang? Dimana dia suster?” tanya ustadz Furqan dengan wajah cemas, “tenang ,
adik anda baik-baik saja, anda tidak boleh banyak bergerak ” jawab suster nan
ayu itu menenangkan ustadzFurqan, “tapi suster, antarkan saya ketempat adik
saya, saya ingin melihat keadaannya suster” ucap Ustadz Furqan masih cemas.
Suster itupun mengantarkan ustadz Furqan menuju ruang ICU, dimana seorang gadis
lembut terbaring lemah tak berdaya. “Qairen, ini kakak. Bangun dek, kamu harus
sembuh ya” ujar ustadz Furqan dengan air mata membasahi pelupuk
matanya.seketika mata Qairen terbuka perlahan, setelah melihat ustadz Furqan ia
berujar “ka..kak,,ke..napa nangis”? ujarnya terbata-bata, ustadz Furqan tak mau
tampak cengeng dimata Qairen ia pun mengusap air matanya dan berkata “tidak apa
Qairen, kamu cepat sembuh ya”.
Tiga hari
berlalu, Ustadz Furqan sudah sehat. Qairen pun mulai membaik, disuatu siang
ustadz Furqan menemani Qairen diruangannya, ”kak, Qairen minta maaf ya kak,
Qairen harus pergi. Kakak jangan pernah sedih ya, tetaplah jadi kakak yang baik,jangan lupain Qairen ya kak.”
Ucap Qairen pada ustadz Furqan, “Qairen janagan pernah ngomong gitu, kamu pasti
sembuh dek” balas ustadz Furqan “tapi jika memang Qairen pergi jauh, kakak
tidak boleh sedih, masih banyak Qiren yang lain kak, maafin Qairen ya kak”
sahut Qairen. Ustadz Furqan tak mampu berucap, air mata mulai menetes dari
sela-sela matanya. “kak, Qairen paling benci kalau kakak nangis. Oh ya kak,
tolong Qairen mengingat hafalan Qairen ya kak” sambung Qairen pada ustadz
Furqan yang berusaha menahan air matanya,”iya Qairen” jawab ustadz Furqan dan
membuka kitab suci Al-quran.
Ayat demi ayat
dilantunkan dari bibir mungil Qairen, hingga 8 juz Al-quran pun dibaca oleh
Qairen, “kak, Qairen mau istirahat dulu
ya kak, maafin Qairen selam ini ya kak, Qairen tidur dulu ya kak” ucap Qairen
setelah menutup Alquran, ustadz Furqan menjawab”iya Qairen, tidur yang nyenyak
ya, jangan tinggalin kakak” ulas Ustadz Furqan sedih. Qairen pun mulai terlelap
dalam tidur panjangnya.
Sorepun
menjelang, seorang suster datang memeriksa keadaan Qairen, namun malang tak
dapat ditolak. Kepedihan, Keterpurukan dan kersedihan menyelimuti diri ustadz
Furqan saat sang suster berkata”beliau telah pergi”. Bagaikan banjir yang
melanda, air mata ustadz Furqan membasahi pipinya, tak sanggup lagi dia
berkata-kata, hanya air mata yang datang menandakan kepedihan dan kesedihan.
Prosesi
pemakaman pun selesai, hanya timbunan tanah yang bisa dia pandangi dengan
cucuran air mata kesedihan. Tak lama ia teringat kata-kata seorang Qairen
“Qairen paling benci kalau kakak nangis”. Air matanya di usap dengan segenap
kebanggan pada Qairen.
Ustadz Furqan kembali kerumah nya, di pandangi
seisi rumah yang dulu adalah tempat ia melewati hari-hari bersama Qairen.
Dipandangi nya foto Qairen yang terpajang di kamarnya dan teringat kembali
kenangan saat dulu bersama Qairen. Air mata pun kembali membasahi pipinya namun
segera diusap karena teringat akan kata-kata Qairen yang tak suka melihat-nya
menangis.

Komentar
Posting Komentar